Kajian – Shalat Merupakan Pertemuan Hamba dengan Allah SWT Tanpa Perantara
Muhammad sang revolusioner. Seorang nabi yang mempunyai visi universal, pelopor dan penggagas dasar-dasar peradaban modern. Nabi yang menunjukkan sifat kemanusiannya dengan fitrah (akhlakul karimah). Nabi yang mengajarkan dan memotivasi manusia bekerja, belajar, bermusyawarah dan menggali potensi diri maupun alam. dan yang paling mendasar dari ajaran Muhammad SAW adalah mengenai kehidupan ruhani (sportial), karena di sinilah letaknya segala persoalan manusia terhimpun. Agama yang lrus adalah agama yang mendasarkan arah spiritualnya hanya kepada sang pencipta langir dan bumi. Nabi mengarahkan pengikut agama-agama nenek moyang Arab dengan meluruskan arah jiwanya kepada Zat yang tidak bisa dibandingkan dengan sesuatu apapun.
Jiwa yang mempunyai potensi (watak) tidak mau dibatasi arah pikirannya, memiliki daya luncur yang sangat cepat, bahkan mampu melampau wujud materia, karena ruh mempunyai dimensi maknawi lebih jauh dari wujud itu sendiri. Ia mampu menembus batas (spaceless) dan menembus waktu (timeless), sehingga ketinggian ruhani tidak meungkin tercapai apabila daya ruh (potensi) dipenjarakan dengan konsentrasi kepada benda-benda sebagai objek pikir meditasi. Fitrah ruhani telah dihambat oleh batasan seperti gambar, patung, ataupun suara.
Di dalam ilmu psikologi modern, teori Jung menyadarkan para rohaniaawan untuk melepaskan teori meditasi konvensional yaitu sang Aku (diri) mencari dan mengarah (tertuju) kepada sang Aku yang kekal3. Konsep ini dikenal dengan istilah psrikologi transpersonal. Konsep Jung ini yang paling bisa diterima, karena jiwa memang tidak boleh dibatasi oleh benda-benda. Ruh harus lepas atu moksa menuju wujud mutlak yang tidak terbatas. dasar spiritial agama-agama sebelum Islam yang dibawa para Nabi disebut agama hanif, yitu agama y lurus yang mendasari arah spiritualnya kepada Zat yang mutlak, tidak boleh menghambat ruhani atau mengikat jiwa seseorang kepada bentuk materi sebagai alat konsentrasi. Jiwa yang terikat akan berada di wilayah yang paling rendah. Kndisi inti tidak sesuai dengan fitrahnya yang memiliki kecenderungan untuk kembali kepada Yang Maha Tak Terbatas, Tak Terjangkau, Tak Terdefiniskan. Dengan mengarahkan jiwa kepada Zat Yang Maha Tak Terbatas, maka jiwa Anda akan meraskan seperti kembali dan tidak terkungkung oleh benda-benda yang mengikatnya.
Jalan spiritual shalat merupakan sebuah konsep meditasi yang sesuai dengan fitrah mansuia, dimana pada saat shalat ruh dibiarkan lepas tanpa hambatan. Hal ini memungkinkan ruh untuk mengalamai pencerahan yang diinginkann. Ruh mengalami kebebasan yang abadi, bukan beripa ketenangan yang digagas oleh pikiran. Ruh ini dituntun kembali untuk memperoleh pencerahan melalui cara yang diajarkan penciptanya sebagaimana tercantum di dalam Al Qur’an surat Al An’aam[6]:79
“Aku hadapkan wajahku kepada wajah Zat Yang Menciptakan langit dan bumi selurus-lurusnya dan ruhku tidak terhambat oleh benda-benda (syirk).
Sebuah cara yagn sederhana untuk menempatkan ruhani kembali kepada hakikatnya yang sejati. Ruh ingin lepas bebas di saat terjadi musibah atau persoalan yagn sangaty sulit dipecahkan lalu ia berkata: “Sesungguhnya akau berasal dari Allah dan kepada-Nya aku kembali”.
Di dalam kehidupan, kita sering menghadapi persolan yagn sulit untuk dipecahkanatau tiba-tiba ktia mendapatkan rasa gelisah dan cemas. Lalu, apa yang kita rasakan ketika hal itu terjadi kepada hati kita? Secara naluriah muncul keinginan kita keluar dari gelora yang mengguncang dalam dada. Kita akan merasa lega kalau kita pergi ke tempat yang jauh, ke gunung yang tinggi, ke laut yang luas, ke rumah teman, atau menghalau perasaaan itu dengan pergi berkaraoke. Namun semua itu sifatnya hanya sementara, (Hedonis) tenang sebentar setelah itu muncul lagi.
Ada banyak cara yang dilakukan orang untuk bisa meninggalkan persoalan yang terjadi dalam hatinya. Dorongan ini adalah fitrah manusia. Namun dorongan ini diselewengkan oleh pengertian yang keliru sehingga ruh dianggap senang kalau dibawa ke tempat-tempat hiburan di muka bumi ini. Padahal, ia bukan berasal dari negeri materi atau alam–alam rendah (bumi). la adalah ruh suci yang dihembuskan oleh Tuhan yang berasal dari sisi–Nya yang luas. Maka apabila ia diarahkan kepada Zat Sang Pencipta, ia akan lari meluncur secepat kilat. la akan merasa senang dan bahagia secara hakiki, karena itulah inti dari perjalanan spiritual manusia.
Rasulullah SAW sendiri bersabda dalam sebuah haditsnya, bahwa shalat itu adalah mi raj–nya orang–orang mukmin, yaitu naiknya jiwa (mi’raj) meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah Yang Maha Tinggi. Mungkin bagi kita yang awam agak canggung dengan istilah mi’raj, yang kita kenal sebagai sebuah peristiwa luar biasa hebat yang pernah dialami Rasulullah SAW dan menghasilkan perintah shalat.
Mengapa Rasulullah mengatakan bahwa shalat merupakan mi’raj-nya orang–orang mukmin? Adakah kaitannya dengan mi’raj–nya Rasulullah SAW itu, karena perintah shalat adalah hasil perjalanan beliau ketika berjumpa dengan Allah di Shidratul Muntaha? Mungkinkah kita bisa melakukan seperti yang dilakukan Rasulullah SAW melalui shalat? Apakah kita bisa berjumpa dengan Allah ketika shalat? Begitu mudahkah berjumpa dengan Allah? Jika jawabannya tidak, mengapa kita diperintahkan untuk shalat? Adakah rahasia dibalik shalat?
Misteri ini hampir tak terpecahkan, karena kebanyakan orang menanggapi hadits tersebut dengan sikap apriori dan berkeyakinan bahwa manusia tidak mungkin berjumpa dengan Allah di dunia. Mereka meyakini, bahwa perjumpaan dengan Allah hanya akan terjadi di akhirat nanti. Akibatnya, mereka tak mau ambil pusing mengenai hakikat shalat atau bahkan mereka menganggap shalat hanya sebagai sebuah kewajiban yang harus dilakukan tanpa harus memikirkan fungsi dan tujuannya.
Ketika muncul pertanyaan mengenai cara mencapai khusyu dalam shalat, muncul pula beraneka ragam jawaban. Ada yang menganjurkan untuk mengerti arti setiap kalimat yang diucapkan dalam shalat, ada juga yang menganjurkan memandang ke arah tempat sujud (sajadah) sebagai upaya memfokuskan pikiran agar tidak liar ke sana ke mari, dan beraneka jawaban lainnya. Namun pada pokoknya, semua cara tersebut harus menyentuh hakikat shalat, yaitu rasa berkomunikasi dan menerima respons dari yang disembah.
Kita sudah lelah mengupayakan dan mengerahkan tenaga untuk mencapai khusyu , akan tetapi tetap saja pikiran kita menerawang tidak karuan. Tanpa disadari, kita sudah keluar dari kesadaran shalat . Allah telah mengingatkan hal ini, bahwa banyak orang shalat akan tetapi kesadarannya telah terseret keluar dari keadaan shalat itu sendiri, yaitu bergeser niatnya bukan lagi karena Allah.
Bersambung…
[Pelatihan Shalat Khusyu, Shalat sebagai meditasi tertinggi dalam Islam, Abu Sangkan]
Leave a Reply