Kajian – Shalat Merupakan Pertemuan Hamba dengan Allah SWT Tanpa Perantara
Firman Allah dalam surat Al-Ma’un [107] ayat 4-6 :
فَوَيۡلٌ۬ لِّلۡمُصَلِّينَ (٤) ٱلَّذِينَ هُمۡ عَن صَلَاتِہِمۡ سَاهُونَ (٥) ٱلَّذِينَ هُمۡ يُرَآءُونَ (٦)
Maka kecelakaanlah bagi orang-orangyang shalat(4), (yaitu) orang-orang yang lalai akan shalatnya(5), orang-orang yang berbuat riya(6).
Pada ayat ke lima, didahului oleh kalimat alladzina (isim mausul) sebagai kata sambung untuk menerangkan kalimat sebelumnya yaitu saahun (orang yang lalai, yaitu orang yang shalatnya tidak dilandasi niat tertuju kepada Allah). Celakalah baginya karena dasar perbuatan shalatnya telah bergeser dari “karena Allah” menjadi karena ingin dipuji oleh orang lain (riya) .
Atau bagi orang yang dalam shalatnya tidak menyadari, bahwa ia sedang berhadapan dengan Tuhannya Yang Maha Agung sehingga pikirannya melayang liar tanpa kendali. Shalat yang demikian adalah shalat yang shahuun (badannya shalat namun jiwa dan pikirannya tidak shalat). Keadaan tersebut bertentangan dengan firman Allah yang menghendaki shalat sebagai jalan untuk mengingat (sadar) akan Allah sebagaimana firman Nya :
. . . maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (QS. Thaha, 20: 14 )
. . . dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. (QS. Al-Araaf, 7: 205)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kalian ucapkan … (QS. An Nisa’, 4: 43)
Inilah rangkaian ayat yang menunjukkan kepada masalah kedalaman ibadah shalat, yaitu untuk mengingat Allah Azza Wajalla. Bukan sekedar membungkuk, bersujud dan komat-kamit tiada sadar dengan apa yang ia lakukan. Shalat semacam inilah yang banyak kita lakukan selama ini, sehingga kita tidak mampu mencerminkan watak mushallin yang sebenarnya, yaitu tercegah dari perbuatan fasik dan munkar.5
Sebenarnya nabi sudah memberikan penjelasan secara teknis langkah-langkah melakukan shalat, yaitu melalui pendekatan psikologis untuk membangkitkan kesadaran diri, sehingga realitas spiritual benar-benar terwujud dengan baik. Yang pada akhirnya akan menghasilkan jiwa yang tentram.
Firman Allah SWT:
…لَا تَقۡرَبُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمۡ سُكَـٰرَىٰ…
. . . . janganlah engkau mendekati shalat sedang kamu datum keadaan mabuk (tidak sadar). . . (QS. AnNisa’, 4: 43 )
Kalimat laa taqrabuu (janganlah kamu mendekati) mempunyai kandungan maksud bahwa kita dilarang mendekati perbuatan shalat. Sebagian ulama menganggap haram hukumnya jika orang mendekati shalat dalam keadaan tidak sadar. Hal ini dikaitkan dengan kalimat larangan yang juga menggunakan kata laa taqrabu” seperti dalam beberapa firman Allah:
وَلَا تَقۡرَبَا هَـٰذِهِ ٱلشَّجَرَةَ
jangan engkau dekati pohon ini. (QS. Al Baqarah, 2: 35)
وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلۡفَوَٲحِشَ
janganlah engkau dekati keburukan. (QS. Al-An’am, 6: 151)
وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلزِّنَىٰٓۖ
janganlah engkau mendekati zina. (QS. At Isra’, 17: 32 )
وَلَا تَقۡرَبُواْ مَالَ ٱلۡيَتِيمِ
janganlah kamu dekati harta anak Yatim. (Al-An’am, 6: 152)
Larangan (nahyi) ini ditujukan kepada para mushallin agar tidak melakukan shalat jika masih belum sadar bahwa dirinya sedang berhadapan dengan khaliq-Nya. Bentuk larangan seperti kata laa taqrabuush shalata (jangan engkau mendekati shalat) dan laa tarabaa hadzihisy syajarata (janga kalian mendekati pohon ini) mempunyai sifat yang sama, yaitu larangan untuk mendekati sesuatu (benda) atau perbuatan. Dan itu merupakan syarat mutlak dari Allah.
Mari kita renungkan. Untuk mendekatinya saja kita dilarang, apa lagi untuk melakukannya. Jika tetap dilakukan, Allah telah memberikan peringatan bahwa shalat kita itu akan sia-sia sehingga shalat tidak lagi menjadi alat atau sarana untuk menciptakan karakter mukmin yang berakhlak mulia. Shalat yang demikian (lalai), akan menjemukan dan membuat kita merasa lelah. Shalat tidak memberikan rasa nyaman, enak dan menyenangkan. Kalau sudah demikian, nafsu kita tidak bisa dikendalikan karena ruh telah tenggelam. Sang tuan atas tubuh kita, yaitu ruh, telah kehilangan kontak dengan sang pemberi petunjuk, sang pemberi ilmu, dan juru penerang.
Kita merasakan betapa shalat menjadi beban sejak kecil. Kita selalu ketakutan kalau tidak melaksanakan shalat. Di waktu itu, guru dan orang tua telah banyak andil menakut-nakuti kita, bahwa kalau tidak shalat akan dijebloskan ke neraka, sehingga setiap kali ada suara adzan perasaan takut dan ngeri sering menyelusup ke dalam hati. Tanpa disadari, secara psikologis pikiran kita terganggu dengan doktrin tersebut.
Kita tidak pernah disadarkan, bahwa shalat itu untuk kebaikan kita dan bisa dirasakan langsung oleh pikiran dan perasaan hati kita, bahwa shalat itu akan membuat perasaan kita damai dan tenang, bahwa shalat itu merupakan tempat kita mengadu di saat kesusahan serta memohon petunjuk jika ada kebuntuan pikiran. Tetapi doktrin itu sudah terlanjur lengket dalam benak kita.
Sehingga tidak bisa dipungkiri, bahwa shalat menjadi benar-benar berat dan sulit dilaksanakan. Kita sudah berupaya melakukannya dengan serius. Kita sudah menepis khayalan dalam pikiran agar bisa berkonsentrasi menemui Allah. Namun akhirnya kita merasa tak berdaya untuk bangkit dan berkomunikasi dengan Allah. Padahal Nabi telah mengisyaratkan dalam beberapa haditsnya :
Peringatan Rasulullah di atas adalah hal yang masuk akal. Apapun pekerjaan itu, baik shalat, bekerja di ladang, maupun bekerja di kantor, jika tidak dilakukan dengan serius akan menghasilkan pekerjaan yang buruk dan tidak bermanfaat. Pekerjaan shalat merupakan bukti keseriusan yang tidak dilihat oleh orang. Shalat adalah pekerjaan jiwa, pekerjaan yang didasari oleh rasa ihsan.
Jika hal ini dilakukan dengan baik, maka pekerjaan yang lainnya akan dilakukan pula dengan serius dan tidak main-main. Shalat yang khusyu akan menimbulkan etos bekerja yang profesional dan penuh tanggung jawab. Bukan sekedar ingin dilihat oleh direktur atau atasan kita, tetapi lebih dari itu.
Pekerjaan kita memberikan efek kepuasan yang luar biasa terhadap jiwa, karena ruh kita bergantung kepada Allah yang telah memberikan jalan rezeki. Berbeda jika kita bekerja karena ingin dilihat orang lain, rasa bahagia itu tidak mampu menghujam ke dalam bathin kita yang dalam. Malahan kita akan sangat tergantung kepada orang lain sehingga kita dikendalikan oleh kemauan nafsu yang dangkal. Ruhani kita kering dan mudah cemas, karena orang lain tidak tahu kemauan bathin kita secara utuh. Biarkan setiap pekerjaan yang kita lakukan adalah karena Allah, Allah yang mengerti kemauan kita, Allah yang menurunkan kebahagiaan ke dalam jiwa kita.
Baca juga : Shalat, Pertemuan Hamba dengan Allah SWT Tanpa Perantara – Bag. 1
Bersambung…
[Pelatihan Shalat Khusyu, Shalat sebagai meditasi tertinggi dalam Islam, Abu Sangkan]
Leave a Reply